Monday, March 12, 2012

Janji Bunga Matahari



Musim semi baru mulai. Padang rumput hijau menghampar. Langit biru cemerlang seakan-akan hujan semalam mencuci bersih semua awan. Di tengah gemerisik angin yang lembut, sayup-sayup terdengarlah suara peluit kereta api. “Tuuuttt Tulituut!” Semakin lama semakin keras, hingga akhirnya tampaklah ular besi panjang itu membelah padang rumput hijau tak bertepi. Pak Gustav dan anak-anaknya menoleh sejenak memperhatikannya dengan perasaan kagum. Mereka memandangi ekornya yang semakin menjauh. Pak Gustav membuka topinya dan menikmati semilir angin yang menyejukkan kepala botaknya yang berkeringat. Pak Gustav dan keempat anaknya sedang menggaru lahan mereka. Di dalam gerobak yang tertambat di belakang dua ekor kuda mereka, terdapat berkarung-karung biji bunga matahari. Mereka akan menanami tanah mereka yang beralur-alur dengan biji bunga matahari itu. Setelah bunga matahari menghasilkan biji, biji itu akan diolah menjadi minyak bunga matahari yang mahal harganya. Pak Gustav tersenyum membayangkan ia akan naik kereta api menuju kota dan mendapatkan uang yang banyak sebagai hasil dari penjualan minyak biji bunga matahari.



Biji-biji kecil berwarna kehitaman dibenamkan ke dalam tanah gembur. Akhirnya selesailah kerja keras mereka selama sebulan. “Kini, biarlah alam merawat dan membesarkan bunga matahari kita,” kata Pak Gustav lega. Sesekali mereka datang ke lahan untuk membersihkan rumput liar dan mengairi pucuk-pucuk muda yang mulai bermunculan menembus tanah. Betapa indahnya alur-alur hijau muda segar yang menghiasi permukaan tanah. Masinis kereta yang melewati ladang itu, setiap hari bertanya-tanya tanaman apakah gerangan yang berjajar rapi di kejauhan.


Pucuk-pucuk muda bergoyang-goyang ditiup angin padang rumput. Mereka sesungguhnya sedang bercakap-cakap satu sama lain. Manusia takkan bisa mendengarnya karena mereka berbicara bahasa yang sangat lirih dan halus. Mereka membicarakan sejuknya air yang mereka minum melalui akar-akar mereka yang panjang, menembus tanah gembur. Kadang-kadang mereka membicarakan hangatnya matahari dan lembutnya angin padang rumput. Laksana sekumpulan anak-anak yang berkumpul bersama, mereka menari dan menyanyikan lagu musim semi:

Musim semi yang wangi...
Dihangatkan matahari...
Semua makhluk di bumi...
Merasa senang hati...


Matahari mendengar lagu yang mereka nyanyikan. Lagu yang menghangatkan hatinya sehingga ia semakin gembira. Disentuhnya pucuk-pucuk daun yang mungil dengan sinarnya sehingga mereka dengan giat membuat makanan untuk dibagikan ke seluruh bagian tanaman. Maka bunga matahari tumbuh cepat. Tinggi, kuat dan hijau. Di suatu pagi di akhir musim panas muncullah kuncup-kuncup bunga kuning cerah. Pak Gustav lah yang pertama kali menyaksikannya. Ia begitu gembira. “Mekar-mekarlah kuncup-kuncup bunga. Bawakan kami biji-biji terbaikmu!” teriaknya sambil melemparkan topinya ke udara. Sore itu Pak Gustav pulang dengan wajah berseri. Istrinya memanggang kue apel untuk merayakan munculnya bunga matahari.

Kuncup kuning merekah. Alur-alur kehijauan berubah menjadi kuning cerah. “Mama, Lihat! Ada permadani kuning raksasa yang dihamparkan di atas padang rumput!” seru seorang gadis kecil yang duduk di dekat jendela kereta. “Itu ladang bunga matahari, Nak,” mamanya menjawab dengan lembut Kereta api berjalan pelan-pelan menikmati pemandangan yang menyenangkan. Yang mengherankan masinis kereta adalah di waktu pagi, saat kereta berangkat ke kota,  semua bunga matahari menoleh ke timur. Ketika ia pulang dari kota di saat matahari mulai terbenam, semua bunga matahari menoleh ke barat. “Bunga-bunga itu memandang dan mengikuti Sang Matahari,” katanya kepada diri sendiri.
“Ah, kawan-kawan mungilku! Selamat pagi! Kini aku tak kesepian lagi! Kalian akan menemaniku sepanjang hari!” bisik matahari melalui kilau sinarnya yang lembut. Saat matahari terbenam, diucapkannya salam perpisahan kepada kawan-kawan kecilnya itu melalui sinarnya yang jingga temaram. “Selamat beristirahat kawan-kawanku.” Persahabatan yang erat terjalin di antara bunga matahari dan matahari.

Dalam satu kuntum bunga matahari yang merekah terdapat ribuan bunga-bunga yang kecil dan halus yang terdapat dalam lingkaran di tengah kepala bunga. Berbagai jenis serangga datang dan pergi. Ada lebah belang, kupu-kupu bersayap biru dan kepik merah hitam. Mereka terbang, hinggap, menyelinap dan berkejar-kejaran di mahkota bunga matahari. Lebah madu sangat menyukai bunga-bunga matahari itu. Tak bosan-bosan, ia menghisap madu dari dasar bunga. Serbuk sari yang lengket, melekat pada kaki lebah dan menempel di kepala putik. Dari utara terlihat kawanan lebah yang tak sengaja melintasi padang rumput dan tertarik dengan warna bunga matahari yang kuning cerah. Oh alangkah sibuk dan bahagianya para serangga!

Menjelang berakhirnya musim gugur, bunga matahari merasa kepala bunga mereka semakin berat. Rupanya biji-biji bunga matahari mulai terbentuk! Semakin sulit bagi mereka untuk menggerakan bunganya ke timur dan ke barat. Warnanya yang menyala, mulai memudar. Suatu pagi yang dingin, angin musim gugur membawa kabar sedih bagi Sang Matahari, “Wahai matahari! Kawan-kawan kecilmu, bunga matahari, tak lagi mengikutimu ke timur dan ke barat. Mereka hanya tertunduk, menghadap ke timur.” Matahari sangat sedih, ia hanya menyinari padang rumput selama beberapa jam dan menghilang ditelan kaki langit. Di tengah kesedihannya turunlah hujan lembut musim gugur di padang rumput itu. Bunga-bunga matahari menggigil kedinginan. Biji-biji kehitaman memenuhi kepala bunga membuatnya semakin menunduk.

Di kejauhan hutan-hutan berubah warna. Daun yang hijau berubah menjadi kuning lembayung. Ada pula yang berubah menjadi merah menyala. Pagi itu, keluarga Pak Gustav sibuk membungkus bunga matahari dengan kantung kertas kecoklatan. Biji bunga matahari yang matang sangat disukai burung dan tupai nakal. Pak Gustav tidak mau biji bunga mataharinya dicuri oleh makhluk-makhluk kecil itu.  Seminggu kemudian Pak Gustav memotong bunga-bunga matahari yang kini tak cantik lagi. Dibawanya bunga-bunga itu pulang. Kesibukan membuat minyak pun dimulai.

Kesedihan matahari berlangsung sepanjang musim gugur yang tersisa bahkan juga musim dingin. Ia jarang menyinari padang rumput. Ia hanya muncul sekali-sekali meratapi kawan-kawan kecilnya yang pergi entah ke mana. Sampai pada suatu pagi di musim semi, Matahari melihat alur-alur hijau memenuhi padang rumput lagi. Ah, ternyata, kawan-kawan kecilnya kembali tumbuh! “Asyik, aku takkan kesepian lagi sepanjang musim semi dan musin panas,” serunya. “Tuan Matahari, tahukah kau? Janganlah bersedih lagi! Kami selalu kembali pada musim semi!” janji bunga matahari riang.

1 comments:

cerita bagus kalii,..
buat sendiri ini mas?

Mau komen apa aja terserah :)